CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Cari Informasi Apapun Yang Kamu Inginkan

Saturday, July 19, 2008

Hemat Listrik: Hentikan Krisis Energi

Minggu lalu, disaat perjalanan pulang dari kantor terlihat di sepanjang jalan Bratang dekat LP3I suasana yang gelap gulita, termasuk traffic light yang sama sekali tak menyala. Rupanya daerah ngagel tempat saya tinggal mendapat giliran pemadaman listrik sore itu. Sekitar 2,5 jam daerah ngagel harus rela bergelap-gelap ria dan sedikit mengalah demi krisis energi yang ternyata sedang melanda negara ini. Ternyata Surabaya juga kena dampaknya.

Loh?baru denger nih ada krisis energi. Seingat saya jarang-jarang ada kabar kalau negeri kita sedang krisis energi. Tapi kenyatannya memang iya. Terlepas dari permasalahan teknis, pemadaman listrik secara bergantian ini diduga karena PLN telah melakukan kesalahan manajemen dan juga lemahnya koordinasi antar instansi pemerintah.

Sehari setelah itu, ada pengumuman dari General Affair team di kantor saya yang intinya sedang menggalakkan para karyawan untuk berhemat listrik sebagai bentuk keprihatinan atas krisis energi yang sedang hangat dibicarakan. Lampu-lampu di ruangan yang tidak terpakai harus dimatikan, begitu juga komputer, printer, dispenser dan semua yang tersambung ke listrik saat ini dimonitor dengan cukup ketat.

Dari berita yang tersiar di televisi, pihak industri harus bersiap-siap dan menjaga kemungkinan karyawannya terpaksa masuk kerja di hari Sabtu atau Minggu untuk mengatur penggunaan listrik ini. Tapi wacana ini rupanya masih menjadi pro dan kontra, karena beberapa pengusaha berdalih bahwa mereka harus mengeluarkan koceknya dengan esktra karena biasanya hari Sabtu atau Minggu identik dengan uang lembur, dimana biaya yang akan dikeluarkan untuk karyawan akan menjadi lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak kelesuan pada sektor industri.

So, mending kita sedikit prihatin dengan keadaan ini. Walaupun mampu bayar listrik berlebih-lebih, demi membantu agar krisis ini segera berakhir, berhemat listrik yukk :)

Friday, June 27, 2008

Kalau Emosi Mengalahkan Segalanya...

.:::. Catatan Peristiwa Demonstrasi Buruh HM Sampoerna .:::.

Hari Pertama (23 Juni 2008)

Pagi itu saya bangun tidak terlalu pagi. Mungkin karena malam sebelumnya agak telat tidur, otomatis pagi harinya saya menjadi sedikit kekurangan waktu untuk persiapan ke kantor. Dengan sedikit tergesa-gesa, saya memacu kendaraan saya menuju kantor.

Dan kemudian…
Kurang lebih sekitar 300 meter dari gedung kantor saya – dan dengan mulut yang hampir menganga – di bagian halaman depan kantor saya terbentang lah hamparan manusia berseragam merah dan putih yang dengan penuh semangat berteriak-teriak lantang.

Masih dengan penuh tanda tanya – walaupun saya tahu pasti yang mereka lakukan pastilah berbau unjuk rasa – saya mengikuti arus kendaraan yang menggunakan jalur di seberang gedung kantor untuk bisa melewati kerumunan buruh-buruh itu. Pelan-pelan saya melewati jalan itu, yang dengan darurat digunakan untuk jalan dua arah. Sambil melihat ke sekeliling, saya kemudian masuk ke halaman kantor lewat pintu samping yang biasa digunakan untuk pejalan kaki. Pintu darurat ini praktis digunakan sebagai pintu masuk utama karyawan karena gerbang utama di yang terletak di bagian depan tengah benar-benar dijejali oleh ribuah buruh yang sedang berdemo.

Sesampainya di ruangan saya – sembari berusaha mengambil nafas dan berusaha tenang – perlahan saya mencari-cari informasi tentang keberadaan buruh-buruh yang sudah cukup membuat sesak suasana pagi itu. Ternyata hal yang diributkan mereka ini pernah saya bahas dengan santai bersama salah seorang user yang saya support sekitar dua hari yang lalu. Oh, tentang issue aliran dana dari mantan bos perusahaan toh?

Ya. Kabarnya, mereka mendengar issue bahwa mantan bos perusahaan tempat saya bekerja pernah memberikan sejumlah dana ke koperasi karyawan perusahaan. Dana ini seharusnya dibagikan kepada para buruh sebagai uang jasa pada saat perusahaan pindah kepemilikan kepada Philip Morris International. Issue tersebut rupanya menimbulkan bisik-bisik dan kegelisahan di kalangan buruh, yang pada akhirnya diwujudkan dengan keberanian berunjuk rasa secara besar-besaran di kantor pusat yang notabene merupakan kantor tempat saya bekerja.

Jadilah hari itu kami seisi ruangan tidak bisa berkonsentrasi bekerja seperti biasanya. Sesekali kami mencari-cari info perkembangan seputar kondisi halaman kantor. Saya juga sempat sejenak ke dekat lokasi demo dan ngobrol-ngobrol dengan Juru Tulis unit produksi – salah satu user yang biasa saya support untuk menggunakan aplikasi – yang terkena imbas demo: terpaksa meninggalkan pekerjaan administrasi mereka untuk bergabung dengan pendemo yang lain.

Para buruh yang memasuki halaman kantor tampak terdiri dari berbagai kesibukan: ada yang dengan semangat ber-orasi di depan halaman, ada yang hanya duduk-duduk, dan bagi yang kelaparan biasanya menyerbu kantin yang letaknya di halaman belakang kantor.

Sore itu sudah ada keputusan dari manajemen bahwa issue tersebut sama sekali tidak benar. Dan jika dalam waktu 7 hari (sejak surat keputusan itu dikeluarkan) para buruh tidak kembali bekerja seperti biasa, maka dianggap mengundurkan diri.

Saya masih bisa pulang seperti biasanya. Sambil melewati pintu samping yang dilewati tadi pagi, sekilas saya melirik ke arah kerumunan buruh yang juga tak beranjak. Saya pun masih belum tahu bahwa keesokan harinya semua bertambah kacau.


Hari Kedua (24 Juni 2008)

Hari kedua, buruh kembali berdemo. Diperkirakan sekitar 5000 buruh yang beraksi. Saya masih bisa memasuki halaman kantor lewat pintu samping. Namun siapa sangka suasana di dalam bertambah panas. Kurang lebih sekitar 100 meter dari ruangan saya, tampak huru-hara barisan buruh yang dengan penuh emosi berteriak-teriak agar tuntutan mereka dipenuhi.

Selain itu, buruh yang mayoritas berasal dari Plant Kalirungkut ini memaksa para buruh yang bekerja di Plant Rungkut Industri untuk segera keluar dari unit produksi untuk mengikuti demo. Rupanya buruh dari Kalirungkut menuntut solidaritas dari teman-teman mereka yang hari itu ingin bekerja seperti biasanya. Mungkin karena takut terjadi apa-apa, buruh-buruh yang sempat bekerja itu keluar dari unit produksi dan terpaksa bergabung dengan rekan-rekan lain yang sejak pukul lima pagi berada di halaman kantor.

Kejadian demi kejadian pun mewarnai aksi demo hari itu. Mulai dari perobohan gerbang produksi (padahal gerbangnya cukup tinggi dan kokoh), pembobolan pintu unit produksi, sampai aksi cakar dan jambak antara buruh yang pro-demo dengan para mandor yang sempat menolak ikut demo lantaran ingin bekerja seperti biasanya. Untunglah beberapa polisi dengan sigap langsung melakukan pengamanan terhadap mereka yang terancam.

Suasana di ruangan saya?
Seharian kami hanya bisa terkurung di dalam ruangan dengan kondisi lampu sengaja dimatikan dan dengan ketat para office boy mengunci semua pintu serta mengawasi orang yang keluar masuk. Ini semata-mata dilakukan agar aktifitas di dalam ruangan kami tidak memancing perhatian para buruh yang berada di sekitar luar ruangan. Kami hanya khawatir terjadi hal-hal yang lebih anarkis, mengingat ruangan kami jadi satu dengan ruang manajemen yang notabene para manajemen saat itu mungkin sedang disoroti. Walaupun manajemen tidak ada yang berada di ruang masing-masing, kami tetap berjaga-jaga di dalam ruangan tanpa banyak bicara.

Berkali-kali, bu Siti – bag. General Affair – yang duduknya tak jauh dari meja saya bergumam penuh kegetiran, mengucap dzikir dengan mata berkaca-kaca sambil menatap monitor hasil pantauan kamera CCTV yang dipasang di hampir seluruh penjuru kantor. Kebetulan beliau memang bertugas memantau setiap keadaan termasuk memberi komando bagi semua satpam di kantor.

Setiap beberapa menit beliau bergumam sesuatu, kami langsung berlari-lari ke samping mejanya, berkerumun dan melihat monitor CCTV dengan penuh rasa cemas. Terlihat dari monitor CCTV betapa emosi dan pikiran tidak logis sudah merasuki para buruh. Beberapa staff di ruangan saya terlihat menitikkan air mata saking cemasnya melihat kondisi sekitar yang mulai kacau.

Hampir setiap menit terdengar teriakan dan seruan bertubi-tubi yang terdengar jelas dari ruangan saya. Setiap menit itu pula pikiran kami melanglang buana – kira-kira apalagi yang bakalan terjadi?

Dalam kondisi seperti ini, tidak ada seorang pun yang bisa meneruskan pekerjaannya. Bahkan beberapa user dari lokasi luar Surabaya yang menelpon dan meminta bantuan/support kami tunda sejenak karena situasi yang sangat tidak kondusif ini. Semua sibuk berjaga-jaga dan berdoa. Saya dan rekan-rekan juga sempat mengabadikan kegiatan rusuh dari balik jendela dengan kamera tanpa menimbulkan perhatian para buruh.

Sore harinya saya bisa kembali pulang lewat pintu samping. Perasaan sedikit panik dan lega bercampur jadi satu.

Hari Ketiga (25 Juni 2008)

Dikabarkan peserta demo pada hari ketiga mencapai sekitar 10.000 sampai 12.000 orang. Kebetulan hari itu saya mengajukan ijin tidak masuk untuk keperluan membuat SIM. Tapi saya tetap memantau perkembangannya via internet dan kabar dari rekan-rekan di kantor.

Pukul 8 pagi saya cek berita di surabaya.detik.com bahwa hari itu gerbang utama dan semua pintu akses ke halaman kantor ditutup total serta dijaga ketat oleh puluhan polisi. Mungkin antisipasi ini diambil karena pada hari kedua mereka berdemo telah melakukan perusakan yang dianggap merugikan.

Akibatnya, ribuan buruh dari luar Plant Rungkut Industri tidak bisa masuk. Begitu juga dengan staff/karyawan yang terlanjur datang diatas jam 7.30 dengan sangat disesalkan terkena imbasnya alias tidak bisa masuk ke halaman kantor. Satpam dan polisi beralasanan tidak mau ambil resiko, karena jika pintu terbuka walaupun hanya sedikit, pasti para buruh langsung merangsek ke dalam dan dikhawatirkan terjadi hal-hal anarkis lainnya.

Menurut info dari seorang rekan, karena semua pintu akses ke halaman kantor ditutup total, hari itu mereka memenuhi jalan di depan kantor termasuk jalan di seberangnya. Mereka tetap berteriak sambil menyerukan shalawat nabi. Bahkan ada pemandangan cukup menarik yang saya lihat dari hasil jepretan foto rekan saya, yaitu mereka merampas salah satu seragam batik yang biasa digunakan oleh staff kemudian dipasangkan pada galah panjang untuk dijadikan orang-orangan sawah. Orang-orangan sawah ini diarak dan dijadikan bahan lelucon sambil terus meneriakkan shalawat nabi. Kabarnya seragam baru itu dirampas dari seorang driver kantor yang akan mengantarkan seragam tersebut ke pemiliknya. Sungguh ironis ya...

Akhirnya rekan-rekan saya yang tidak berhasil masuk ke halaman kantor terpaksa dipulangkan oleh coordinator. Dengan penuh rasa bersyukur, saya menghela napas sambil tetap memikirkan hari esok. Masihkan mereka bertahan dengan tuntutan mereka?


Hari Keempat (26 Juni 2008)

Rupanya berteriak dan berpanas-panas ria selama tiga hari berturut-turut belum bisa mematahkan semangat mereka untuk tetap mempertahankan tuntutan. Situasi hari keempat masih seperti hari ketiga. Semua pintu akses ke halaman kantor ditutup total. Demo dengan tuntutan yang tidak berdasar dan kurang menggunakan akal sehat ini terus berlanjut. Bahkan karena mereka terlalu antusias ingin menjebol gerbang utama, satpam kantor sempat melakukan penyemprotan air dengan selang besar ke arah kerumunan. Tapi hal ini sama sekali tidak membuat mereka kapok ataupun membubarkan diri.

Setelah memutar lewat jalan berbek, saya bertemu rekan-rekan saya di pinggir jalan sebelah masjid yang letaknya kurang lebih 400 meter dari samping kantor. Beberapa staff dari departemen lain juga terlihat berdiri di sepanjang pinggir jalan dengan menggunakan baju bebas. Para pimpinan memberi kelonggaran bagi staff untuk menggunakan baju bebas dan sandal demi menghindari amukan massa yang sering ’mengerjai’ dan menyoraki staff yang menggunakan seragam.

Nasib kami sama, tidak bisa masuk ke halaman kantor. Walaupun saya sempat memohon kepada petugas satpam yang saya temui di balik pagar, ia sama sekali tidak berani membuka pagar karena sudah ada instruksi dari atasan agar jangan sekali-kali membuka pintu tanpa ijin. Rupanya manajemen tidak ingin kejadian di hari kedua terulang lagi, juga untuk mengamankan buruh-buruh di Plant Rungkut Industri yang sudah mulai bekerja seperti biasanya. Akhirnya kami hanya bisa menunggu selama kurang lebih dua jam sebelum akhirnya diijinkan masuk ke dalam kantor.

Tanpa gentar, orasi demi orasi mereka lakukan setiap beberapa jam. Beberapa petinggi perusahaan dan kapolwil juga berusaha menenangkan dengan bertatap muka langsung dan mengucapkan beberapa patah kata yang intinya berusaha menyadarkan mereka. Ya tentu saja para petinggi dengan nada halus berkata bahwa issue yang mereka dengar sama sekali tidak benar. Namun salah satu pemimpin demo buruh juga bersikeras agar mantan bos perusahaan segera didatangkan bagaimana pun caranya. Diharapkan dengan datangnya mantan bos yang notabene menurut issue pernah memberikan uang jasa untuk buruh tersebut bisa memberi pencerahan atas kegalauan yang terpancar dari raut muka para buruh.

Yang membuat saya salut, ketika hujan mulai turun di sore hari tidak ada satupun buruh yang beranjak dari tempat mereka berdiri sejak pagi hari. Mereka tetap teguh berdiri dengan memegang payung masing-masing, tetap bersemangat dan pantang mundur.

Untuk alasan keamanan, para buruh di Plant Rungkut Industri – yang pada hari itu sudah bekerja seperti biasanya – atas perintah manajer dipulangkan ke rumah masing-masing dengan menggunakan truck milik polisi. Hal ini dilakukan untuk menghindari amukan rekan-rekannya yang sedari pagi sudah berdemo.

Hari itu saya hanya bisa bekerja beberapa jam dengan sangat tidak bisa berkonsentrasi. Pikiran terpecah dan rasanya bukan saat yang tepat untuk memaksa diri menyelesaikan semua pekerjaan. Akhirnya jam 4 sore saya dan rekan minta ijin untuk pulang lebih awal mumpung kondisi di pintu samping tidak terlalu ramai.

Menurut info yang saya dengar, di hari kelima mereka tidak melakukan demo, tapi akan dilanjutkan pada hari senin depan karena hari itu akan dilakukan perundingan antara perwakilan buruh dan pihak manajemen. Jadi di hari kelima mereka akan bekerja seperti biasanya dan hari Senin minggu depannya akan melanjutkan demo lagi. What?demo kok di pending?

Sunday, April 06, 2008

Review Hotel Le-Beringin di Kota Salatiga

Awal april ini saya ditugaskan kembali ke luar kota. Yeah, kota tujuan saya selanjutnya adalah Salatiga....

Memang ini hanya kota kecil. Ah, bukan masalah bagi saya. Yang penting bisa melepaskan penat sejenak yang saya temui setiap hari di Surabaya..
Okay, setelah saya browsing di internet mengenai info hotel ciamik di Salatiga, akhirnya saya memutuskan untuk menginap di hotel Le-Beringin. Foto disamping ini diambil pada malam hari, saya mengambilnya dari bagian luar di depan lobby utama hotel.

Sebenarnya saya cukup beruntung, karena saat itu saya dapat harga promo untuk type executive room: cuma Rp. 300.000 hehe lumayan kan? :)



Untuk harga kamar lainnya, coba tengok yang berikut ini:
... Standard : 200.000
... Superior : 230.000
... Deluxe : 265.000
... Executive : 360.000 (non promo)
... Suite : 575.000

Yang membuat saya memilih menginap disini untuk urusan pekerjaan saya adalah karena pertimbangan berikut:

Pertama, karena letaknya benar-benar di tengah kota...

Kedua, karena deket banget dengan tempat untuk beli oleh-oleh. Setelah saya mencari informasi di internet, tahulah saya bahwa Jl. Sukowati adalah salah satu tempat/pusat untuk hunting oleh-oleh khas Salatiga, tapi saya tidak tahu pasti letaknya dibagian mana kota Salatiga.

Ceritanya, hari pertama disana, iseng-iseng saya keluar hotel untuk cari makan malam. Karena tidak ada taksi, maka saya memutuskan untuk jalan kaki saja. Dari gerbang hotel, saya kemudian berbelok ke kiri. Gak nyangka, sekitar 200 atau 300 meter kemudian saya membaca plang bertuliskan: "Jl. Letjen Sukowati". Hwaaaaa, seneng banget begitu tahu kalau cuma berjalan kaki saja bisa beli oleh-oleh. Kalau males jalan ke Sukowati, bisa langsung ke toko '2 Hoolo' yang berada di sebelah kanan hotel, mungkin cuma sekitar 20-30 meter dari gerbang hotel.

.::. Pertigaan Jl. Sukowati .::.

Ketiga, ada fasilitas free wi-fi di area hotel, yaitu di lobby hotel dan area swimming pool. Tapi nih, menurut info dari pihak hotel..wi-fi cuma bisa diakses dari dua lokasi tadi. Padahal saya coba iseng-iseng connect dari kamar saya di lantai 3, eh ternyata bisa connect. Lancar jaya! koneksi cukup cepat. So, saya seharusnya tidak perlu berdingin-dingin ria di area swimming pool hanya untuk bisa online kan? :)

By the way, view di area swimming pool di malam hari cukup keren lho...


Swimming pool indoor ini terletak di lantai 4, dimana udara dingin Salatiga bebas keluar masuk karena tidak ada dinding atau kaca yang menutupi. So cool...

Pantas saja saya betah berlama-lama disini, karena selain bisa menikmati makan malam saya juga bisa berwi-fi ria dengan gratis... (seneng banget ya kalo ada gratisan, hehehe...)

.::. Sirloin steak, hot mocca, and free wi-fi...hmmm .::.

Dan kalau pagi hari, saya breakfast di tempat yang sama. Bedanya, saya bisa melihat indahnya gunung-gunung di sekitar. Tapi pinter-pinter pilih menu makan ya...coz kalau pilih yang bukan hangat-hangat bisa cepet dingin makanannya, mending pilih bubur ayamnya..lumayan lezat kok... :)



.::. 1: breakfast -- 2: nice view .::.

Di depan hotel juga ada tukang jual sate ayam enak yang jualan setiap malam, harga satenya murah..1 porsi cuma Rp. 7500, tapi saya waktu itu beli 15 tusuk sate cuma Rp. 10.000.... lumayan banget buat cemilan (hehehe..)

Sayangnya, untuk channel TV di kamar gak terlalu banyak. Saya gak bisa menikmati siaran MTV, Fashion TV, dan beberapa channel lain yang biasanya saya temui di hotel lain. Yang jelas, pilihan channelnya kurang lengkap (but thats okay..). Dan ternyata, pihak hotelnya lupa ngasi sandal hotel di kamar saya. Saya kira emang gak dapet, setelah saya tanyakan ke pihak hotel waktu check out ternyata memang mereka lupa ngasi. Ah never mind lah.. :)
So, kalau saya ke Salatiga lagi..mungkin gak perlu bingung cari hotel lain. Di Beringin aja deh... :)

Friday, March 21, 2008

Hanya Butuh Sedikit Keadilan

Sore ini saya tidak sempat menengadahkan kepala saya keatas langit seperti biasanya. Bukan, bukan karena saya lupa, tapi karena ada urusan yang cukup penting diluar kantor. Maka saya mempercepat langkah sambil berpikir-pikir apa saja yang akan saya lakukan sesampainya dirumah.

Langkah kaki di belakang saya terdengar sama cepatnya. Awalnya saya pikir seseorang yang saya kenal. Ternyata bukan. Kemudian…

Si Bapak: "Gimana mbak..?kerasan disini?" sambil tersenyum si Bapak mensejajarkan langkahnya dengan langkah saya.

Saya: "Ya....kerasan sih pak.." dengan nada sedikit bingung karena sepertinya saya belum pernah bertemu si Bapak sebelumnya.

Si Bapak: "Sudah berapa lama mbak disini?satu bulan?atau dua bulan?"

Sesaat saya sedikit mengernyitkan dahi (yang sepertinya sebentar lagi akan membentuk garis-garis lengkung karena dilanda ruwetnya pekerjaan), dan saya simpulkan mungkin si Bapak baru-baru ini saja melihat saya di kantor sehingga mengira saya masih baru.

Saya: "Wah..saya ini sudah lama disini pak, hampir 3 tahun. Tapi ya gitu...masih kontrak saja sampai sekarang" saya berusaha sedikit tersenyum.

Si Bapak: "Oooooo gitu..."

Dengan bibir yg terus tersenyum, si bapak bertanya lagi: "Sekarang emang gitu ya mbak sistemnya?"

Saya: “Hmmm kurang tau juga sih pak. Yang jelas memang sekarang Sampoerna banyak menggunakan sistem kontrak..atau outsource, tergantung kebutuhan aja. Susah pak sekarang kalau mau jadi pegawai permanen." dalam hati sebetulnya saya tidak terlalu berharap ada pengangkatan pegawai permanen. Sampai kapan mau mengorbankan setengah hari dari waktumu setiap hari untuk 'bekerja rodi' spt ini? :)

Si Bapak: “Saya barusan di PHK mbak..” beliau berkata dengan senyum ikhlas dan tanpa beban.

Hah??Salahkah pendengaran saya?

Saya: ”Mmm..maksudnya sebelum di Sampoerna, bapak di PHK di perusahaan sebelumnya?” keningku tambah berkerut.

Si Bapak: “ Bukan mbak. Ya disini ini mbak, saya di PHK disini..mungkin saya disini sampai akhir bulan ini saja.” yang saya salut, si Bapak tetap tersenyum!

Oh Good! Saya langsung terdiam. Langkah saya terhenti saat itu juga.

Saya: “Bapak mengajukan paket ya?”

* Di perusahaan saya, ‘paket’ adalah istilah semacam pesangon untuk orang-orang yang akan pensiun, biasanya bagi yang ingin pensiun dini juga bisa mendaftar sistem ini.


Si Bapak: “Ya enggak mbak, saya gak ngajukan. Mungkin memang karena ada perampingan pegawai itu mbak… Saya ya sebenarnya gak mau di PHK, tapi mau gimana lagi…masa saya tolak….?”

Saya berdiri satu setengah meter dari kendaraan si Bapak.

Saya: “Sudah berapa tahun pak kerja disini?”

Si Bapak: “Ya..lumayan lah mbak, sekitar empat belas tahun..” jawabnya sambil bersiap-siap dengan helm dan jaket yang beliau ambil dari sepeda motornya.

Saya: “Ada rencana apa pak setelah keluar dari sini?”

Si Bapak: “Yah…belum tahu mbak, saya belum kepikiran..” kali ini tatapan si Bapak menerawang.

Deg! Kasihan si Bapak. Tahu apa yang saya terlintas di benak saya pertama kali?
Walaupun saya tidak tahu si Bapak ini punya istri dan anak atau tidak, yang jelas saya langsung iba dengan nasib keluarganya. Terbayang kan perasaan anak istrinya begitu tahu suaminya di PHK?

Oh good, please help him….

Setelah saling tersenyum, saya pamit kepada si Bapak dan menuju kendaraan saya untuk segera pulang.

Saya masih muda. Andaikan saya di PHK-pun mungkin lebih mudah bagi saya untuk mencari pekerjaan lagi. Tapi bagi si Bapak?

…..

Sore itu setelah percakapan singkat dengan si Bapak, saya menengadahkan kepala sejenak… bertanya-tanya dimana ya keadilan itu?

Andaikan ada sedikit keadilan untuk si Bapak…